27 November 2010



KERAPAN SAPI MADURA

Pengantar
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.

Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.



Macam-macam Kerapan SapiKerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.

2. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.



Jalannya Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.

Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.

Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.

Nilai budayaPermainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.


Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.

Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.


Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.

Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.

26 November 2010

SEJARAH MASJID AGUNG





     Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep, sebagai inisiatif dari Adipati Sumenep, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M). Dalam perkembangannya, masjid laju tidak mampu lagi menampung jemaah yang kian banyak.
    Setelah keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasar catatan di buku Sejarah Sumenep (2003) diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).
     Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787 M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
    Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya menganut eklektisme kultur desain.
Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pada masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh.
   Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas, yaitu antara arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina menjadi satu di bangunan yang istimewa ini. Mungkin pula berbagai etnis yang tinggal dan hidup di Madura lebih banyak lagi, sehingga membentuk struktur bangunan lengkap dengan ornamen yang menghias bangunan ini secara keseluruhan.
Kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sangat mungkin mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata, terdapat sejumlah modifikasi yang berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat.
   Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama. Memperhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
  Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa.
   Struktur bangunan secara keseluruhan menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rumit di saat itu. Jalinan hubungan antaretnik yang hidup di Madura dapat disaksikan dari bangunan utuh dari sosok masjid Agung Sumenep ini.
  Pada bagian depan, dengan pintu gerbang yang seperti gapura besar, beberapa orang berpendapat juga menampakkan adanya corakkebudayaan Portugis. Konon, masjid Agung Sumenep merupakan salah satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia dengan corak arsitektur yang khas.
   Perkembangan Islam di tanah Jawa, pula menjadi bagian dinamika kehidupan masyarakat Madura. Perkembangan ajaran Islam di Pulau Madura, tak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pergumulan masyarakat Jawa yang secara gegrafis terpisah dengan Selat Madura. Perkembangan Islam di Ampel dan Giri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Pada jamannya, tugas dakwah yang diemban para wali meliputi seluruh daerah, termasuk Jawa dan Madura.
   Dalam perkembangan Islam di Madura tak lepas dari para pedagang yang datang dari Gujarat (India) serta para perantau yang berasal dari jazirah Arab. Mereka yang berhasil mendarat di Madura juga memberi kontribusi akibat interaksi, baik budaya maupun tata kehidupan.
   Model akulturasi budaya yang ada di masa silam, secara jelas masih bisa dinikmati sekarang. Yaitu dengan melihat kekayaan detil arsitektural yang ada di masjid Jami’ Sumenep. Walaupun pada sekitar tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan kirinya.